Minggu, 30 Oktober 2011

Dari Cilegon Hingga Blitar Hanya untuk Bersilaturahmi ke Rumah Sakit

Mudik memang sudah menjadi tradisi turun temurun yang wajib dilakukan setahun sekali pada masa libur menjelang lebaran sebagai kaum perantauan. Kegiatan ini diwariskan dari zaman nenek moyang hingga saat ini. Karena kami keluarga merupakan kaum perantauan, maka kami wajib melakukan ritual seperti ini. Meskipun lelah, bosan, dan capek yang dirasakan ditambah lagi dengan kami harus menahan lapar dan dahaga karena sedang menjalankan puasa ramadhan tetapi kami rela melakukannya demi mendapatkan kata maaf dari seseorang yang sangat kami cintai yakni keluarga. Perjalanan kami amat sangat membosankan karena kami harus menghabiskan waktu sekitar 24 jam lebih ditambah dengan berdesak-desakan karena mobil yang saya naiki sangat sempit ruangnya untuk dinaiki sekitar 8 penumpang.
Bukan hanya mental yang harus dipersiapkan tetapi fisik juga harus tetap fit karena jika tidak kuat melakukannya maka bisa berakibat fatal bahkan dapat menyebabkan kematian. Meskipun menyeramkan tetapi jika sudah sampai kampung halaman yang dituju ada sedikit kepuasan dalam hati. Hal itulah yang sering diremehkan oleh kebanyakan orang, mereka nekat melakukan cara apapun dan dalam kondisi apapun untuk mencapai impian mereka yakni bersilaturahmi ke rumah sanak saudara.
Perjalan kami lakukan dari rumah kami yang bertempat di kota Cilegon provinsi Banten. Sebelum melakukan perjalanan panjang yang melelahkan kami mempersiapkan semua kebutuhan yang diperlukan, mulai dari mengecek mobil, menyiapkan perbekalan, dan menyipkan kebutuhan lainnya. Setelah melewati perjalanan selama 3 jam biasanya kami transit di rumah yang sering saya panggil dengan sebutan om, beliau merupakan adik dari ibu saya. Setiap kami mudik, kami selalu mampir ke rumah om tepatnya di kota Karawang, Jawa Barat untuk mudik om dan keluarganya. Tetapi untuk mudik kali ini kami tidak mampir untuk menjeput om karena om sudah mendahului kami berangkat di hari yang lebih awal dari jadwal keberangkatan kami dan kerena om sudah memiliki mobil sendiri.
“Mah, udah waktunya berbuka puasa, gimana kalo kita batalkan puasa dulu.” Ucapku ketika mobil masih tetap melaju walaupun waktu berbuka puasa telah tiba.
“Minum dulu sama makan makanan kecil aja dulu untuk ngebatalin puasa, nanti kalo udah nemuin tempat yang tepat kita baru makan.”
            Kami pun mengiyakan perkataan mama. Setelah sampai di tempat yang kira-kira strategis untuk kami makan dan sholat akhirnya papa menghentikan laju mobilnya.
“Mah, mau bikin mie gelas ya, masuk angin kayaknya.” Aku mulai merasakan tidak enak badan.
“Iya boleh tapi makan nasi dulu ya.”
“Iya ma, mas Rian tolong bikinin dong.”
            Mas Rian adalah kakak ku satu-satunya. Kami hanya dua bersaudara. Usia jarak kami pun tak terlalu jauh, sekitar 2 tahun kurang. Meskipun dia seorang lelaki tetapi mas Rian sangat jago dalam hal urusan meracik bumbu-bumbu terutama meracik bumbu mie. Oleh karena itu aku sering sekali meminta mas Rian untuk membuatkan makanan.
            Mie pun sudah jadi, kehangatan mie membuat tubuh menjadi lega dan merasakan kepuasan tersendiri ditambah lagi dengan racikan bumbu yang dahsyat ala mas Rian melengkapi malam yang dingin ditengah perjalan yang telah menguras banyak tenaga dan waktu.
##########
            Seusai makan dan sholat kami melanjutkan perjalanan untuk mengejar waktu. Malam sudah kian larut tetapi mobil yang dikendarai oleh papa terus melaju, akupun tersadar dari tidur, aku melihat papa masih serius menyetir meskipun wajah papa terlihat tampak lelah. Mama yang duduk di depan dan mas Rian yang duduk di sampingku tampak tertidur lelap.
            Suasana jalan tampak lancar meskipun volume kendaraan kian mendekati hari lebaran kian bertambah. Mudah-mudahan nggak macet deh, doaku dalam hati. Sejak aku terbangun aku hanya diam saja memandangi sekitar ku dan melihat kondisi jalan yang dihiasi dengan lalu-lalang kendaraan orang-orang yang sedang mudik tanpa mengeluarkan sepatah katapun untuk mengajak bicara papa agar papa tidak mengantuk. Entah mengapa rasanya malas sekali untuk berbicara mengeluarkan kata-kata. Setelah beberapa menit aku mengamati sekelilingku akupun tertidur kembali.
##########
            Jam telah menunjukkan pukul 3, akupun terbangun dari tidur. Ternyata mobil telah berhenti di suatu masjid. Aku cepat menyadarkan diri dan keluar dari mobil.
“dik, ayo sahur dulu.” Mama menyadarkan aku sambil sibuk menyiapkan makan sahur untuk kami. Akupun berjalan menuju kamar mandi di dalam masjid untuk mencuci muka dan segera duduk di sebalah mama untuk makan sahur sebelum waktu imsak tiba.
            Kami pun bersama-sama menyantap makanan perbekal yang masih tersisa, untung saja belum basi. Dalam perjalanan mudik kami memang lebih suka membawa makanan perbekalan sendiri dari pada harus beli alasannya selain lebih irit juga kami sudah terbiasa makan masakan mama yang menurut lidah kami sangat luar biasa enak dibandingkan dengan makanan yang harus kami beli dipinggiran jalan yang menurut kami belum tentu enak, porsinya pun tidak terlalu banyak dan harganya biasanya relatif mahal.
            Setelah kami selesai menyantap makanan sahur kami pun langsung bergegas untuk menuju masjid untuk menunggu waktu shubuh. Setelah beberapa menit kami menunggu adzan shubuh pun berkumandang kami segera melakukan sholat shubuh berjamaah.
##########
            Papa terus mengendarai mobilnya, matahari pun sudah tampak menyengat, kami sudah sampai di kota Ngawi sekitar 3-4 jam lagi untuk mencapai kota Blitar, kota tujuan kami. Saat itu keadaan jalan sangat macet total. Kali ini jalan benar-benar padat, mobil pun benar-benar berhenti. Kami tidak mengetahui apa sebab kemacetan parah itu.
            Saat kemacetan terus berlangsung, entah apa yang membuatku menjadi tidak enak badan. Aku langsung mengeluhkan apa yang aku rasakan kepada mama.
“Mah, perutnya sakit.”
“Kenapa?”
“Nggak tau, sakit banget, papa bisa kepinggir nggak?” pinta ku sambil terus meremas-remas perut karena menahan rasa sakit.
“Sebentar ya, ini lagi macet banget, nggak bisa jalan sama sekali.”
            Akhirnya beberapa menit kemudian, mobil kami pun dapat berjalan dan papa pun langsung membelokkan mobilnya ke sebuah tempat wisata. Tadinya aku kira aku hanya diare biasa, aku pun membiarkannya begitu saja. Tetapi setelah kami sampai di kota Nganjuk, kami berhenti sejenak untuk melakukan sholat dzuhur jamak qoshor dengan sholat ashar. Kami sengaja melakukan sholat jamak untuk mempersingkat waktu. Sesampainya di masjid, entah apa yang membuatku kembali diare hingga berkali-kali aku harus bolak-balik kamar mandi.
“Dik, dibatalin aja puasanya.” Pinta mama sambil melihatku kasihan karena aku terus merintih menahan kesakitan.
“Iya dik, kalo lagi sakit nggak apa-apa dibatalin aja puasanya.” Tambah papa karena juga merasa kasihan melihat aku.
“Nggak, ah mah, pah, ines udah banyak utang puasa, nggak mau nambah lagi.”
##########
            Sesampainya di Blitar, sakit ku semakin bertambah parah. Setiap beberapa menit sekali aku mondar-mandir ke kamar mandi. Akhirnya pada malam harinya aku diberikan obat diare oleh om ku. Karena diare ku tak kunjung reda akhirnya pada malam itu juga aku di bawa ke klinik. Malam itu adalah malam ke-2 sebelum hari lebaran tiba.
            Sesampainya di klinik, aku heran dengan dokter yang memeriksaku, semua pasien yang entah sakitnya apa selalu di suntik, termasuk aku. Bahkan adik sepupu ku yang ikutan memeriksakan lukanya karena baru saja terjatuh dari motor juga disuntik.
“dok, kalau boleh tahu saya sakit apa ya?”
“oh ini Cuma disentri.” Jawab dokter dengan muka enteng.
            Aku bertanya-tanya dalam hati, disentri itu penyakit seperti apa ya? kok bisa-bisanya aku terkena penyakit itu?. Sesampainya di rumah nenekku aku langsung meminum obat. Tetapi beberapa lama kemudian aku tetap saja mondar-mandir ke kamar mandi. Hingga pagi hari, aku benar-benar tidak bisa tidur.
##########
            Keesokan paginya aku benar-benar tidak bisa berpuasa, akhirnya karena aku mempertahankan puasa ketika di jalan sekarang benar-benar tidak berpuasa. Andai saja waktu itu aku menuruti perintah mama dan papa, mungkin aku tidak akan seperti ini.
            Hari telah berganti menjadi malam, aku, mama, papa, dan nenek ku pergi untuk melihat suasana malam lebaran di kota yang dipenuhi oleh orang-orang yang melakukan takbir keliling, suara takbir pun tersengar di seluruh penjuru sudut kota. Mulut-ulut dibasahi dengan lantunan ayat-ayat Allah, seraya bersujud syukur karena hari kemenangan telah tiba, menandakan manusia merupakan makhluk yang lemah dan tidak ada apa-apanya tanpa kekuasaan sang ilahi.
            Aku terus merintih kesakitan dan akhirnya papa memutuskan membawaku ke rumah sakit. Aku langsung di bawa ke ruang UGD untuk diperiksa. Suasana di ruang UGD saat itu benar-benar menyeramkan. Saat orang di luar sana orang sedang saat bergembira bermain petasan dan mengumandangkan takbir, di ruangan ini orang-orang banyak yang menjerit-jerit kesakitan karena kesombongan mereka merayakan takbir dengan kebut-kebutan dengan sepedah motor.
“mah, sakit banget.” Sambil nangis aku memeluk mama.
“iya, udah nggak apa-apa.” Lalu mama melangkah menuju keluar ruang UGD, mencarikan ruangan untuk aku, karena ternyata aku harus dirawat inap.
            Aku terus merintih kesakitan, karena saat seorang perawat memasukkan jarum infus ke tangan ku dengan sangat kasar dan aku pun sempat gagal 3 kali ketika menancapkan jarum infus karena posisi nadiku yang sangat kecil dan lemah. Papa terus memegangku dan mamandangiku seperti merasakan kesakitan yang aku alami.
Beberapa lama kemudian mama datang dan akhirnya aku di pindahkan dari ruang UGD ke ruang rawat inap. Aku terus menangis karena suasana lebaranku yang cukup tragis yakni di rumah sakit. Mulutku terus mengumandangkan takbir. Aku hanya bisa menyesal tidak mengikuti perkataan orang tua dan aku juga baru teringat bahwa aku bisa makan mie. Setiap aku makan mie aku merasakan tubuh menjadi sakit.
Mungkin ini pelajaran untuk aku agar lebih berhati-hati dalam memakan makanan dan selalu mengikuti perintah orang tua karena jika orang tua melarang itu untuk kebaikan diri sendiri.
##########
            Hari lebaran pun telah tiba, kali ini hanya papa yang bisa menjalankan sholat ied, aku dan mama ku tidak bisa menjalankannya. Karena mama harus menjagaku di ruang rawat inap. Setelah semalaman aku dirawat akhirnya kondisi ku sudah membaik karena aku telah menghabiskan 4 botol infus dalam semalam.
            Dokter yang memeriksakan aku akhirnya datang setelah kami tunggu beberapa lama akhirnya aku diizinkan untuk pulang. Alhamdulillahirabbilalamin karena lebaranku kali ini tidak harus berlama-lama di rumah sakit. Setelah aku sampai di rumah nenek semua keluarga besar menyambut kepulanganku dengan senyuman.


Foto saat aku di rawat di rumah sakit Syuhada Haji Blitar -_-
            

Tidak ada komentar:

Posting Komentar